S E L A M A T D A T A N G

Senin, 07 Oktober 2013

TIPE-TIPE SEMANTIK ADJEKTIVA DALAM BAHASA MUNA#


NAMA                                 :   EMY SYAHID
NOMOR STAMBUK         :   910 141 012
 PROGRAM STUDI           :   PEND. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JUDUL PENELITIAN        :   TIPE-TIPE SEMANTIK ADJEKTIVA DALAM BAHASA MUNA
DOSEN PEMBIMBING    :   I. Drs. La Ode Sidu M., M. S. II. Drs. La Niru
TAHUN SKRIPSI                :   1995

                                                                  KEBAHASAAN
WA ODE MURNI ANA 
NIM: A1D1 11 050
                                                                  
Abstrak
          Fokus penelitian ini adalah tipe-tipe semantik adjektiva dalam bahasa Muna. Setiap bahasa mempunyai tipe yang tersendiri. Demikian halnya dengan bahasa Muna tentu mempunyai tipe yang berbeda dengan bahasa-bahasa daerah lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan deskripsi yang lengkap tentang tipe-tipe semantik adjektiva dalam bahasa Muna. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode lapangan (field research) dan metode pustaka (library research), dengan teknik pengumpulan data  (1) elisitasi, (2) perekaman, (3) pencatatan dan pengarsipan data. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan para penutur asli bahasa Muna yang berdomisili di desa Lahontohe, Kecamatan Tongkuno, Kabupaten Muna. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa dari tipe-tipe semantik adjektiva dalam bahasa Muna ditemukan ciri-ciri umum yang terdiri atas adjektiva sebagai pengisi predikat, adjektiva sebagai pengisi atribut, dapat berfrase dengan “sepaliha”, dan dapat berimbuhan feka-, sika-, dan mo-. Adapun tipe-tipe semantik adjektiva dalam bahasa Muna dapat dikelompokkan menjadi adjektiva makna warna, adjektiva makna bentuk, adjektiva makna ukuran, dan adjektiva makna rasa.
Kata kunci:  semantik, adjektiva.

1.    Pendahuluan
1.1    Latar Belakang

         Bangsa Indonesia terdiri atas beberapa suku bangsa yang mendiami pulau-pulau Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Suku -suku bangsa ini mempunyai bahasa yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi anggota masyarakat dalam berbagai aktivitas kehidupan mereka. Dalam kaitan ini, bahasa juga merupakan refleksi tata kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pengetahuan tentang bahasa sangat bermanfaat bagi orang yang ingiin mempelajari selik-beluk budaya pemilik bahasa, dalam hal ini budaya daerah.
          Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa Nasional, (2) bahasa pengantyar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan pengajaran lainnya, (3) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah. Fungsi bahasa daerah sebagai hasil yang dicapai dalam Seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975, yakni sebagai (1) lambang kebanggan daerah, (2) lambang identitas daerah, (3) alat penghubung antarwarga masyarakat daerah.
            Bahasa sebagai hasil budaya manusia mempunyai berbagai fungsi, yakni (1) untuk mengembangkan kebudayaan, (2) untuk mengawetkan dan meneruskan kebudayaan, (3) untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, (4) untuk mengadakan control sosial, dan (5) untuk menyatakan ekspresi diri.
Bahasa Muna adalah salah satu bahasa daerah di Sulawesi Tenggara yang diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan dan pembinaan bahasa Nasional. Bahasa Muna adalah salah satu bahasa daerah yang mempunyai penutur yang cukup besar dan merupakan bahasa yang hidup dan berkembanng yang dipergunakan oleh satu kelompok suku bangsa sebagai bahasa pergaulan. Bahasa Muna, disamping sebagai alat komunikasi juga berfungsi sebagai alat pendukung kebudayaan daerah bagi masyarakatnya. Penelitian ini diharapkan akan sangat bermanfaat dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Muna. Di pihak lain penelitian ini diharapkan pula dapat mengemukakan tipe-tipe semantik adjektiva dalam bahasa Muna.

1.2    Kajian Teori
a.    Pengertian Semantik

       Tarigan (1993: 7) menyatkan bahwa “semantik adalah telaah makna. Semantic menelaah lambanng-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhny terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya, dan perubahannya.”
Makna semantik dalam bidang linguistik adalah mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Jenis pendekatan semantik yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah semantik leksikal bukan semantik gramatikal. Dengan demikian, penelitian ini hanya melibatkan kata sebagai objek garapan. Oleh karena kata ada yang bermakna lugas dan bermakna perluasan maka penelitian ini hanya mengamati makna lugas atau denotatif.
        Dalam usaha menipakan semantik adjektiva digunakan teori hubungan makna, yakni hubungan sinonimi, hiponimi, dan ontonimi. Yang utama dipakai dalam penelitian ini adalah hubungan hiponimi. Selanjutnya dalam usaha mengetahui identitas makna kata dengann lebih seksama dipakai teori analisis komponen.

b.    Pengertian Adjektiva
          Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988: 209) dijelaskan sebagai berikut:
 Adjektiva, yang juga disebut kata sifat atau kata keadaan, kata yang dipakai untuk mengungkapkan sifat atau keadaan orang, benda, atau binatang, dan mempunyai ciri sebagai berikut:
1.    Adjektiva dapat diberi keterangan pembanding, seperti lebih, kurang, dan paling: lebih besar, paling     baik, paling mahal.
2.    Adjektiva dapat diberi keterangan penguat, seperti  sangat, amat, benar, sekali, dan terlalu: sangat indah, amat tinggi, pandai benar, murah sekali, terlalu murah.
3.    Adjektiva dapat diingkari dengan kata ingkat tidak : tidak bodoh, tidak salah, tidak benar.
4.    Adjektiva dapat diulangi dengan awal se- dan akhiran –nya: sebaik-baiknya, serendah-rendahnya, sejelek-jeleknya.
5.    Adjektiva pada kata tertentu dapat berakhir antara lain dengan –er, -(w)i, -iah, -if, dan –ik: honorer, duniawi, ilmiah, negatif, elektronik.

c.    Ciri-ciri Adjectiva

        Menurut Abdul Chaer dalam bukunya Pengantar Semantik Bahasa Indonesia mengemukakan kriteria kata sifat atau adjektiva sebagai berikut: (1) kata sifat dapat diikuti dengan kata keterangan sekali, (2) kata sifat berada di belakang kata benda, (3) dalam gabungan kata yang berupa idiom, kata sifat dapat menduduki posisi awal atau berada di muka kata benda, (4) dalam gabungan kata yang bermakna perbandingan kata sifat diletakkan di depan kata benda.
Selain itu, berikut ini akan dikemukakan beberapa cirri adjektiva:
1.    Dilihat dari kestabilan waktu, adjektiva mempunyai kestabilan menengah.
2.    Dilihat dari fungsinya dalam kalimat, adjektiva mempunyai dua fungsi, yaitu berfungsi sebagai predikat dan berfungsi sebagai atribut.
3.    Dilihat dari segi semantiknya, adjektiva menyatakan keadaan, kualitas, derajar dari sesuatu (Edi Subroto, 1986: 2) 

2.    Metode Penelitian

         Metode yang dipakai sebagai landasan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah metode lapangan (field research). Sesuai dengan seifat penelitian yang deskriptif, maka kata deskriptif bermakna bahwa penelitian ini dilakukan seobjektif mungkin dan didasarkan semata-mata pada fakta yang ada. Agar mencapai deskripsi yang factual dan informatif, selain menggunakan metode lapangan peneliti juga menggunakan metode pustaka (library research), dengsn teknik pengumpulan data : (1) elisitasi: teknik menggunakan pertanyaan langsung yang ditujukan kepada informan, (2) perekaman: teknik yang digunakan untuk melengkapi data yang terkumpul dengan cara merekam jawaban dari informan, (3) pencatatan dan pengarsipan data: teknik yang digunakan untuk mencatat data yang diperoleh, dan data yang terkumpul diseleksi, kemudian ditata secara taratur dan sistematis.
Prosedur pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam empat tahap, yakni:
1.    Tahap persiapan : usaha pengurusan surat izin (rekomendasi) penelitian.
2.    Tahap pengumpulan data: pengumpilan data dilakukan selama satu bulan, terhitung mulai tanggal 16 Februari 1995.
3.    Tahap koreksi dan seleksi data: semua data mentah dikoreksi dan diseleksi untuk menentukan mana yang dapat dijadikan sebagai data dan mana yang tidak dapat dijadikan sebagai data.
4.    Tahap analisis data: untuk menentukan cirri-ciri adjektiva dalam bahasa Muna, dan menentukan tipe-tipe semantik adjektiva dalam bahasa Muna.

3.    Hasil dan Pembahasan Penelitian
3.1    Ciri-ciri adjektiva bahasa Muna

•    Adjektiva sebagai pengisi predikat
Contoh:
Bhadhu La Isa o kapute ‘Baju Isa putih’.
Ghoti kaholeno nolala ‘Nasi gorengnya pedas’.
•    Adjektiva sebagai pengisi atribut
Contoh:
Adhara bholo ‘Kuda hitam’.
Kahitela motugha ‘Jagung tua’.
•    Dapat berfrase dengan ‘sepaliha’
Contoh:
Nohali sepaliha ‘mahal sekali’.
Nondalo sepaliha ‘dalam sekali’.
•    Dapat berimbuhan feka-, sika-, dan mo-
Contoh:
/lala/ ‘pedas’             /fekalala/ ‘pedaskan’
/koadho/ ‘bagus’       /sikakoadho/ ‘sangat bagus’
/rubu/ ‘kecil’             /morubu/ ‘kecil’

3.2    Tipe-tipe semantik adjektiva bahasa Muna
3.2.1    Adkektiva makna warna

a.    Adjektiva yang menyatakan warna merah ‘kadea’
kata kadea ‘merah’ ini dan hiponimnya dapat dipakai untuk menyatakan warna pakaian, warna benda, dan sebagainya.
Contoh:
Aiku nepake bhadhu kadea monganta. ‘Adikku memakai baju merah hati’.
Inaku netobhe bunga mbongadhu. ‘ibu saya memetik bunga merah jingga’.
Kedua contoh tersebut menyatakan bahwa kedudukan kata tersebut tidak berbeda dengan kedudukan kata kadea ‘merah’, yakni menempati kolokasi yang sama.
b.    Adjektiva yang menyatakan makna putih ‘kapute’
Dalam pemakaiannya berdasarkan kolokasi masing-masing.
•    Kata dhampi ‘putih’ hanya dapat dipakai untuk adhara ‘kuda’
Contoh: Rako adhara dhampi maitu. ‘Tangkap kuda putih itu’.
•    Kata sambira ‘putih kemerahan’ hanya dapat dipakai untuk manusia.
Contoh: Bhekaku o sambira. ‘Kucingku putih kemerahan’.
•    Kata marampute ‘pucat lesi’ hanya dipakai untuk manusia.
Contoh: Hula Wa Ani nomarampute wurahano.
      ‘Wajah Ani tampak pucat lesi’.
•    Kata bhakasa ‘putih yang bintik-bintik hitam’ hanya dipakai untuk ayam.
Contoh: Isaku negholi manu bhakasa.
      ‘Kakakku membeli ayam putih yang berbintik-bintik hitam’.
c.    Adjektiva yang menyatakan makna hitam
Secara sistematis kata yang menyatakan makna hitam mempuyai subtype yang meliputi:
•    Kaghito    ‘hitam’
•    Bholo    ‘hitam untuk kuda’
•    Mongkolo    ‘hitam untuk ayam’
Contoh:
Manu mongkolo maitu manu La Ita. ‘Ayam hitam itu ayam La Ita’
Amaku nosawi ne adhara bholo ‘Ayah saya menunggang kuda hitam.’
d.    Adjektiva yang menyatakan makna coklat
Pembagian kata untuk menyatakan warna coklat adalah salaedha ‘coklat’ dan deangkuli ‘sawo matang’.
Contoh:
Inaku nepake badhu salaedha ‘Ibu saya memakai baju coklat’.
Kulino anano o deangkuli ‘Kulit anaknya sawo matang.’
e.    Adjektiva yang menyatakan warna biru
Bahasa Muna juga mengnal adanya makna biru, yang disebut dengan kakanda. Kata kakanda ‘biru’ juga mempunyai tipe bawahan, yaitu kakanda motugha ‘biru tua’ dan kakanda morangku ‘biru muda’.
Contoh:
Inaku negholi sala kakanda ‘Ibuku membeli celana biru’.
f.    Adjektiva yang menyatakan warna kuning
Adjektiva makna kuning berkolokasi netral, serta tidak mempunyai tipe bawahan.
Contoh:
Dobaresi depake badhu kakuni.
‘Mereka berbaris dengan memakai baju kuning’.
g.    Adjektiva yang menyatakan makna hijau
Adjektiva idho ‘hijau’ juga mempunyai tipe bawahan yakni idho bhale ‘hijau daun’, idho motugha ‘hijau tua’, dan idho morangku ‘hijau muda’.
Contoh:
Isaku nepake badhu idho ‘Kakak saya memakai baju hijau’.
h.    Adjektiva yang menyatakan makna abu-abu
Adjektiva makna abu-abu  ‘ngkabu’ tidak mempunyai tipe bawahan dan berkolokasi netral.
Contoh:
Manuno ngkabu noghutomo.
‘Ayamnya yang abu-abu sudah bertelur’.
i.    Adjekriva yang menyatakan warna ungu
Adjektiva makna ungu ‘wungo’ tidak mempunyai tipe bawahan dan berkolokasi netral.
Contoh:
Ndorono o kapute badhuno o wungo.
‘Roknya putih, bajunya ungu’.

3.2.2    Adjektiva makna bentuk

a.    Adjektiva makna bentuk yang berunsurkan garis lurus
Garis lurus yang dimaksud dalam penelitian ini adalah garis yang jika dilihat dari salah satu ujungnya ke ujung yang lain membentuk atau berupa satu titik. Adjektiva lurus dalam bahasa Muna adalah nelaa yang mempunyai kemiripan dengan nentade ‘tegak lurus’. Kata nelaa digunakan secara umum, kecuali pada manusia, sedangkan kata nentade hanya berkolokasi pada manusia.
Contoh:
Kabongka tatu nelaa sepaliha.
‘jalan raya sana lurus sekali.’
Adjektiva sese ‘miring’ mempunyai kesamaan dengan rampi ‘miring’ dan bele atau nobele ‘miring’. Berdasarkan kolokasinya, ketiga kata tersebut mempunyai kolokasi yang berbeda-beda. Kata sese hanya berkolokasi pada sesuatu garis lurus, namun karena sesuatu hal dia mengalami kemiringan (pohon), sedangkan rampi hampir sama dengan sese, tetapi kadar kemiringan sese lebih banyak jika dibandingkan dengan rampi.
Contoh:
Katampano sikola mani nosese.
‘Palangnya sekolah kami miring.’
Adapula kata nempaga ‘miring’. Kata ini hanya berkolokasi pada makhluk hidup dan tidak dapat digunakan pada kayu atau pohon.
Contoh:
Isaku nokala nempaga rampano nobie wowohono.
‘Kakakku jalan miring, karena berat bebannya.’
Adjektiva potate ‘rata’ juga menyatakan keadaan bentuk yang berstandar garis lurus dan mempunyai kolokasi khusus, yaitu permukaan suatu bidang atau benda.
Adjektiva ranga ‘kurus’ menyatakan keadaan bentuk benda yang menyerupai garis lurus dan berkolokasi khusus pada manusia dan binatang.
Contoh:
Aiku noranga sipaliha rampahano nosaki.
‘Adikku kurus sekali karena sakit.’
b.    Adjektiva makna bentuk yang berunsurkan garis lengkung
Yang termasuk adjective tipe ini, misalnya nengkonu ‘bulat’, bengku ‘bengkok’, ghubi ‘buncit’, dan sebagainya.
Adjektiva nengkonu ‘bulat’ berkolokasi netral dan mempunyai subtipe yaitu dhawanta ‘bulat panjang’ dan dharempe ‘bulat lepes’.
Contoh:
Mata Wa Abe nengkonu peda golu,
‘Mata Wa Abe bulat seperti bola.’
Adjektiva bengku ‘bengkok’ berkolokasi pada beberap macam benda seperti parang maka dipakai kata noghelu.
Contoh:
Kapuluno amaku noghelu.
‘Parang ayah saya bengkok’.
Adjektiva ghubi ‘buncit’ berkolokasi khusus pada perut dan ukuran bentuk relatif besar.
Contoh:
Taghi La Ita noghubi rampahano nokoghule.
‘Perut La Ita buncit karena cacingan’.
Adjektiva weo ‘bengkak’ berkolokasi khusus pada perut, weo dan tente berkolokasi pada beberapa benda yang sifatnya membengkak, baik pada wajah maupun badan.   
Contoh:
Katifuhano ani nehulano noweo
‘Sengatan lebah pada wajahnya tampak bengkak’.
Adjektiva nobhenta ‘lubang’, kadar kelengkungannya kecil. Adjektifa notangga ‘retak’, keretakannya merupakan garis lengkung yang melingkar. Adjektiva nowore  ‘retak’, keretakannya merupakan garis lengkung yang memanjang.
Contoh:
Toned bhalano notanggagho nokantibhae oe kapana.
‘gelas besar retak karena dikena air panas’.
Adapula adjektiva nobhogha mempunyai makna pecah terbelah dan adjektiva nopuro mempunyai makna pecah terbelah hancur berkeping-keping.
Contoh:
Piri kampumaahano nobhoghae bheka.
‘piring tempat makan dipecahkan oleh piring.’
O toned nondawu ne sume kansuru nopuro.
‘gelas yang jatuh di lantai pecah berkeping-keping’.
Adjektiva gure ‘keriting’ menyatakan bentuk benda yang menyerupai garis lengkung yang mempunyai subtipe yaitu nogangga ‘keriting sekali’, mangkalu ‘keriting yang bagus’, dan busuusa ‘ombak-ombak’.
Dalam bahasa Muna dikenal pula kata ongko ‘bongkok’ dan bungku ‘bongkok’. Adjektiva ini mempunyai subtipe yaitu nololo ‘bongkok sekali’. Kata ini hanya berkolokasi pada manusia yang sudah tua sekali.
Contoh:
Kamokula te kapomosiraha mani nololomo.
‘orang tua di tetangga kami sudah bongkok sekali’.

3.2.3    Adjektiva Makna Ukuran

           Dari penyaringan data yang telah dilakukan, diperoleh dua belas tipe adjektiva yang menyatakan ukuran, yaitu (1) ukuran jarak, (2) ukuran panjang, (3) ukuran tinggi, (4) ukuran luas, (5) ukuran kedalaman, (6) ukuran ketebalan, (7) ukuran isi, (8) ukuran jumlah, (9) ukuran waktu, (10) ukuran berat, (11) ukuran besar, dan (12) ukuran usia.
a.    Adjektiva yang menyatakan ukuran jarak
       Untuk menyatakan adjektiva ukuran jarak dalam bahasa Muna dikenal nomaho ‘dekat’ dan nokodoho ‘jauh’.
Contoh:
Lambu mani nomaho bhe daoa ‘Rmah kami dekat dengan pasar’.
Sikolano nokodoho ampa naini ‘Gedung sekolahnya jauh dari sini’. 

b.    Adjektiva yang menyatakan ukuran panjang
       Dilihat dari segi fakta yang diacu oleh kata-kata yang menyatakan ukuran panjang adalah benda yang berbentuk memanjang secara horisontal (kecuali menyatakan ukuran ular), sedangkan ukuran tinggi yang diacu adalah benda-benda yang berbentuk memanjang secara vertikal. Dalam bahasa Muna kedua hal ini dapat dibedakan satu dengan yang lain.
       Dalam bahasa Muna ukuran panjang mempunyai tata tingkat, yaitu pendek. Kata yang dipakai untuk melambangkan ukuran pendek adalah nengkubu dan nepanda untuk rendah. Untuk ukuran pendek dalam bahasa Muna mempunyai tipe bawahan, yakni kambubuku ‘pendek’ dan kapaapanda ‘pendek atau rendah’.
Contoh:
Mie mepandano mina namooli nopunda.
‘Orang yang rendah/pendek tidak tangkas melompat.’
Pughuno ghaiku nepandahi.
‘Pohon kelapa saya rendah-rendah’. 

c.    Adjektiva yang menyatakan ukuran tinggi
       Dalam bahasa Muna dikenal kata-kata seperti langke ‘tinggi’, bhanta kire ‘setinggi alis’, dan rente ‘rendah’. Adjektiva langke digunakan untuk benda-benda yang berukuran tinggi, sedangkan kata bhanta kire digunakan untuk menyatakan ukuran benda yang tingginya setinggi alis. Adjektiva rente ‘rendah’ digunakan untuk permukaan air.
Contoh:
Nofoni te wawono ghai melangkeno.
‘Ia memanjat kelapa yang tinggi.’
Kalangkeno lambu amaitu ampa bhanta kire.
‘Tinggi rumah itu setinggi alis’.
Oeno laano Tula norentemo.
‘Permukaan air kali Tula sudah rendah’. 

d.    Adjektiva yang menyatakan ukuran luas
       Untuk menyatakan ukuran luas dalam bahasa Muna dikenal kata lalesa yang berarti luas.
Contoh:
Kareteno lambuno nolalesa sipaliha.
‘Halaman rumahnya luas sekali’.
e.    Adjektiva yang menyatakan ukuran kedalaman
Adjektiva yang menyatakan kedalaman dalam bahasa Muna hanya mengenal ndalo ‘dalam’.
Contoh:
Kandalono sumuno alu rofa.
‘Dalam sumurnya delapan depa’. 

f.    Adjektiva yang menyatakan ukuran ketebalan
      Adjektifa yang menyatakan ketebalan dalam bahasa Muna adalah kata kapa ‘tebal’.
Contoh:
Negholi dopi mokapano mbali kaghontono lambuno.
‘Ia membeli papan yang tebal untuk pintu rumahnya.’ 

g.    Adjektiva yang menyatakan
       Dalam bahasa Muna kata yang biasa dipakai untuk menyatakan ukuran isi adalah pono ‘penuh’, dan mina nokoihi ‘tidak berisi’. Untuk kata pono mempunyai subtipe buke, suke ‘penuh sekali’.
Contoh:
Oe we gusi nopono ‘Air di dalam gusi penuh.’
h.    Adjektiva yang menyatakan ukuran jumlah
Dalam bahasa daerah Muna kata-kata yang menyatakan ukuran jumlah adalah bhari ‘banyak’, seendai ‘sedikit’, dan sekandai-ndai ‘sedikit sekali’.
Contoh:
Amaku nobhari doino ‘Ayah saya banyak uangnya.’
Nofumaa seendai kaawu ‘Ia hanya makan sedikit.’ 

i.    Adjektiva yang menyatakan ukuran waktu
      Adjektiva yang menyatakan ukuran waktu dalam bahasa Muna meliputi nompona ‘lama’, panaompona ‘tidak lama’, sebaantara ‘sebentar’.
Contoh:
Amino moghane nomponamo nomate ‘Kakeknya sudah lama meninggal.’
Panaompona amaimo tora ‘Tidak lama kemudian, saya akan dating lagi.’ 

j.    Adjektiva yang menyatakan ukuran berat
     Adjektiva yang menyatakan ukuran berat dalam bahasa Muna meliputi nobhie ‘berat’, dan nosape ‘ringan’.
Contoh:
Nobhie kadu aini pae amooliea ‘Karung ini berat, tidak dapat saya angkat.’
Bhakeno kadhawa nosape ‘Buah kapuk ringan.’ 

k.    Adjektiva yang menyatakan ukuran besar
        Adjektiva yang menyatakan ukuran besar dalam bahasa Muna meliputi bhala ‘besar’ dan rubu ‘kecil’.
Contoh:
Lambu Wa Pitiri nobhala ‘Rumah Wa Pitiri besar.’
Nosawi nekapala morubuno ‘Dia menumpang kapal kecil.’

l.    Adjektiva yang menyatakan ukuran usia
     Untuk menyatakan ukuran ukuran usia dalam bahasa Muna terdapat beberapa kata misalnya tugha, kamokula, rangku, dan bughou. Kata tugha dipakai untuk menyatakan usia tuatentang sesuatu, sedangkan kamokula mempunyai makna yang sama dengan kata tugha, yakni ‘tua’. Kata kamokula berkolokasi pada makhluk hidup.
Contoh:
Awano robhine nokamokulamo
‘Neneknya sudah tua’
Kata tugha tidak dipakai untuk makhluk hidup.
Contoh:
Naando norangku dadino, nampali-mpali kaawu gunano.
‘Ketika usia muda, ia hanya berfoya-foya kerjanya.’
Kata bughou dipakai untuk menyatakan benda-benda yang sifatnya baru.
Contoh:
Bheta nepakeno maitu naando nobughou.
‘Sarung yang dipakainya itu masih baru.’

3.2.4    Adjektiva makna rasa

a.    Rasa yang dialami oleh pikiran
      Dalam bahasa Muna kata-kata yang menyatakan rasa yang dialami oleh pikiran, yakni nomuda ‘mudah atau gampang’, nohali ‘sulit atau sukar’, noghegha ‘sibuk’, dan nopokolu ‘kalut atau kusut’.
Contoh:
Kalentu tamba-tamba nomuda ‘Hitungan menjumlah itu gampang.’
Kalentu kaeudhihamani indewi nohalihi.
‘Hitungan yang kami ujikan kemarin sulit-sulit.’
Nopokolu fekirino rampano nobhari dosano.
‘Pikirannya kalut karena banyak utangnya.’ 

b.    Rasa yang dialami oleh hati
       Untuk menyatakan rasa takut dalam bahasa Muna dikenal dengan tehi ‘takut’.
Contoh:
Aotehi akala korondoha ‘Saya takut jalan malam.’
Kata susah dalam bahasa Muna adalah sabha ‘susah’.
Contoh:
Nobhari anahi nembali kasabha ‘Banyak anak banyak susah.’
Kata yang menyatakan rasa ragu-ragu dalam bahasa Muna dikenal dengan bara-bara ‘ragu-ragu’.
Contoh:
Lalono nobara-bara ane nokala amoisa.
‘Hatinya ragu-ragu kalau berjalan sendiri.’
Untuk menyatakan rasa hati rela dalam bahasa Muna adalah lera ‘rela’.
Contoh:
Inaku nolera mpu-mpu nowagho doi basitie.
‘Ibuku ikhlas memberikan uang kepada keluarganya.’
Dalam bahasa Muna kata yang menyatakan rasa marah dan benci biasa disebut dengan nomara ‘marah’ dan norakue ‘benci’.
Contoh:
Ama nomara rampahano aiku mina nokala wesikola.
‘Ayah marah, karena aadik tidak pergi ke sekolah.’
Arakue awura hulano ‘Saya benci melihat wajahnya.’ 

c.    Rasa yang dialami oleh indera
      Adjektiva makna rasa yang dialami oleh badan dalam bahasa Muna diantaranya gharo ‘lapar’, wehi ‘kenyang’, wule ‘lelah’, saki ‘sakit’. Untuk kata gharo ‘lapar’ dan wehi ‘kenyang’ merupakan rasa yang dialami oleh badan khususnya perut. Untuk kata wule ‘lelah’ dan nosaki ‘sakit’ merupakan rasa yang dialami oleh badan. Untuk rasa sakit dalam bahasa Muna mengenal dua bentuk, yaitu nosaki (sakit pada seluruh badan) dan nolea (sakit pada bagian-bagian tertentu saja).
Contoh:
Sabhangkaku nolea ghagheno rampahano nondawu.
‘teman saya sakit kakinya karena jatuh.’
Adjektiva makna rasa yang dialami oleh lidah, dalam bahasa muna antara lain paghi ‘pahit’, meko ‘manis’, nombaka ‘enak’, tembe ‘tawar’, kolo ‘masam’, dan nokara ‘asin’.
Contoh:
Roono kapaea nopaghi ‘Daun papaya rasanya pahit.’
Kenta topa nokara ‘Ikan kering rasanya asin.’
Adjektiva makna rasa yang dialami oleh kulit dalam bahasa Muna di antaranya moito ‘gatal’, pana ‘panas’, rindi ‘dingin’, dan halusu ‘halus’.
Contoh:
Kasiahano buruto nomoito ‘Bekas gigitan nyamuk gatal.’
Noforoghu oe karindi ‘Ia minum air dingin.’
Adjektiva makna rasa yang dialami oleh hidung, dalam bahasa Muna antara lain wondu ‘harum’, noburu ‘busuk’, rani ‘amis’, dan nobei ‘basi’.
Contoh:
Wonono bura dhawa nowondu ‘Bau bedak jawa harum.’
Kenta amaitu noburumo ‘Ikan itu sudah busuk.’
Adjektiva makna rasa yang dialami oleh mata, dalam bahasa Muna di antaranya nokesa ‘cantik/indah/bagus’, pasole ‘gagah’, ntalea ‘terang’, dan nororondo ‘gelap’.
Contoh:
Megholi kanau badhu mokesano.
‘Belikan saya baju yang bagus.’ 

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineke Cipta.
Depdikbud. 1983. Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Tarigan, Hendri Guntur. 1993. Pengantar Semantik. Bandung: Pionir Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar